Friday, December 11, 2009
Friday, October 13, 2006
Pendakian Marathon Merbabu, Merapi, Lawu.
 
 


Melengkapi daftar pendakian Tahun 2006, aku kembali melakukan pendakian solo secara marathon di tiga gunung Jawa Tengah yaitu Merbabu, Merapi, dan Lawu. Pendakian kumulai dari Dusun Tekelan, Kopeng pada hari Sabtu tanggal 16
 September. Sekitar jam 13.00 kudaki Gunung Merbabu yang beberapa hari sebelumnya dilalap kebakaran.
September. Sekitar jam 13.00 kudaki Gunung Merbabu yang beberapa hari sebelumnya dilalap kebakaran.Menjelang petang aku sampai tepat di bawah Puncak Syarif, setelah menemukan tempat berkemah kudirikan tenda di dekat satu tenda dari kelompok pendaki lain. Setelah menghabiskan semalaman di tengah hempasan angin kencang, paginya aku meneruskan perjalanan ke puncak tertinggi Kentheng Songo. Hanya sekitar 15 menit berada di puncak, aku mulai berjalan menuruni puncak yang sebagian besar vegetasi di sekitarnya telah menghitam diamuk api.
Setelah hampir tiga jam perjalanan aku sudah tiba di daerah Kecamatan Selo. Perut yang kelaparan segera kuisi di sebuah warung makan, sambil beristirahat melepas lelah. Sekitar jam sepuluh aku tiba di Base Camp Merapi, yang ramai oleh pendaki yang baru turun dari puncak. Kembali aku beristirahat lagi selama beberapa jam. Aku memulai pendakian sekitar jam satu siang bersamaan dengan turunnya kelompok pendaki yang terakhir, sehingga tidak ada satupun pendaki yang berada di gunung.
Sebelumnya aku belum pernah mendaki di Gunung Merapi, jadi aku sedikit ragu melakukan pendakian solo itu. Ditambah lagi kabut yang sering datang mengganggu pandangan, tapi aku mencoba untuk tenang dan tetap fokus pada perjalanan. Belum sampai jam empat aku sampai di Watu Pecah, aku mendirikan tenda untuk menginap. Hanya sekitar satu jam perjalanan menuju puncak, aku memutuskan untuk sekalian mendaki sampai puncak dan segera kembali ke tenda.
Aku membawa barang seperlunya dan mulai mendaki. Setelah Pasar Bubrah perjalanan dilanjutkan dengan mendaki bebatuan yang terjal dan berbahaya. Perjalanan menuntut kewaspadaan yang tinggi, ditambah lagi jalurnya sangat tidak jelas karena terjadinya erupsi beberapa waktu lalu. Jam 19.15 aku sampai di puncak, karena hari sudah mulai gelap aku tidak berani mendekati Puncak Garuda. Sesegera mungkin aku meninggalkan puncak untuk menghindari masalah serius akibat kemalaman. Dengan hati-hati aku terus bergerak turun melewati bongkahan-bongkahan batu besar yang berbahaya. Ketika sampai kembali di Pasar Bubrah hari sudah gelap dan berkabut. Hampir membuat kesalahan fatal ketika aku mengambil arah terlalu ke kiri, untunglah aku berhenti menunggu kabut menghilang, dan ketika kabut menipis tampak di hadapanku sebuah lereng curam yang bisa mengantarku ke dasarnya.
Bersyukur kepada Allah akhirnya aku sampai kembali ke tenda dengan selamat. Setelah menikmati kesendirian semalaman, esoknya aku meninggalkan Gunung Merapi untuk langsung menuju ke Gunung Lawu.
Lewat tengah hari aku sudah berada di kawasan Cemoro Sewu untuk memulai perjalanan melewati jalur berbatu yang tertata rapi. Meskipun bukan hari libur tapi lumayan banyak pendaki yang akan naik maupun turun. Asam laktat yang menumpuk di paha dan kaki akibat perjalanan sebelumnya membuat pendakianku menjadi relatif lebih lambat. Menjelang sore aku mendirikan tenda di Pos II, kemudian esoknya meneruskan perjalanan ke Puncak Hargo Dumilah. Hanya menghabiskan waktu sekitar sejam untuk mencapai puncak.
Sebelum tengah hari aku sudah meninggalkan gunung dengan sentuhan peradabannya, seperti jalan berbatu yang dibuat hingga hampir puncak, juga warung makan yang ada di dekat puncaknya.
Monday, October 09, 2006
Pendakian Cepat Semeru
Saturday, October 07, 2006
Pendakian Solo Bromo, Tengger, Semeru




"Mencapai puncak gunung manapun dianggap kurang penting dibanding dengan cara seseorang mencapainya. Tidak ada pendaki yang lebih di kagumi selain para pendaki solo, para pemimpi yang mendaki sendirian". ( Into Thin Air; Jon Krakauer )
Aku mendaki Semeru pertama kali Agustus 2001, di awal-awal menjalani hobi mendaki gunung, menjadi satu diantara ribuan orang yang mencapai puncaknya.
Ada satu kisah petualangan yang begitu mengusik hatiku, yaitu tentang pendakian solo di Everest yang dilakukan seorang Maestro Himalaya yaitu Reinhold Messner pada tahun 1980. Messner melakukan pendakian tanpa oksigen tambahan dan tanpa bantuan siapapun. Suatu prestasi yang sulit disaingi siapapun.
Tiba-tiba saja aku ingin melakukan seperti yang dilakukan Messner, meskipun hanya di gunung tertinggi di Pulau Jawa, gunung yang masih jauh di bawah standar pendakian kelas dunia. Itu menjadi obsesiku selama beberapa bulan, dan sepertinya tidak ada tempat untuk lari dari keinginan itu.
Bulan Maret tekadku sudah bulat, aku berangkat ke Malang, tapi menurut informasi sepanjang musim penghujan pihak TNBTS menutup kawasan Semeru untuk kegiatan pendakian. Dihadapkan pada kenyataan itu aku tidak bisa begitu saja mengurungkan niatku. Karena akses via Tumpang, Malang tertutup, aku punya alternatif lain yaitu memulai pendakian dari kawasan Gunung Bromo, dengan resiko jarak perjalanan menjadi dua kali lebih panjang.
Tanggal 22 Maret 2006 pagi, setelah menginap semalam di Camping Ground Cemoro Lawang, dengan ijin hanya melakukan Hiking ke Ranupane, aku memulai perjalanan melewati Lautan Pasir Bromo. Setelah melewati padang savana kemudian melintasi tanjakan zig-zag untuk mencapai jalan beraspal yang menghubungkan Tumpang-Ranupane.
Setelah lebih 4 jam perjalanan, akhirnyasampai di perkampungan Ranupane ( 2200 Mdpl )disambut hujan yang semakin deras, sempat berteduh di pos pendakian yang kebetulan tidak ada petugas. Ketika hujan sudah mereda, aku mengambil keputusan meneruskan perjalanan ke Ranu Kumbolo. Berbagai rintangan menghadang mulai dari lebatnya belukar yang menutupi jalan setapak, batang pohon tumbang yang memaksaku merangkak untuk melewatinya, belum lagi lintasan yang longsor, juga hujan gerimis yang membuat basah kuyup kedinginan.
Menjelang petang aku sampai di Ranu Kumbolo ( 2400 Mdpl ), disambut 2 orang penduduk desa yang memancing.Mereka menawarkan tempat berkemah dekat gubuk ilalang yang mereka buat secara sederhana.
Pagi harinya penduduk Ranupane akan kembali ke desa dan menawariku untuk kembali saja bersama mereka. Melihat cuaca yang masih bersahabat, aku belam mempunyai alasan yang kuat untuk kembali. Bersamaan dengan keberangkatan mereka, sekitar jam 8 aku meneruskan perjalanan, mendaki Tanjakan Cinta, melintasi savana Oro-oro Ombo, kemudian masuk hutan di kawasan Gunung Kepolo. Setelah dua jam perjalanan sampai di pos Kalimati. beberapa saat istirahat, kemudian meneruskan perjalanan mendaki menuju Arcopodo. 
Jam 11.05 sampai di Arcopodo ( 2900 Mdpl ), kemudian mendirikan tenda untuk beristirahat dan menghabiskan malam yang terasa sangat panjang ,berteman kesepian dan deru angin yang menerpa puncak.
Sekitar jam tiga aku terbangun dan bersiap melakukan Summit Attack. Suara angin dari arah Puncak Mahameru membuatkutercekam keraguan. Setelah memakai sepatu aku keluar tenda, seiring beberapa langkah kaki, keraguan yang menghantuiku perlahan memudar.
Beberapa saat setelah melewati Cemoro Tunggal, kabut tebal mulai menyelimuti membuat keraguan kembali menyerang, cahaya lampu kepalaku semakin meredup. Mendaki menapaki medan berpasir yang alurnya tidak jelas, melawan udara membeku juga rasa takut dan ragu dalam diri, aku terus berjalan mengerahkan semua energi yang kumiliki. Meskipun kabut masih tebal, suasana terang karena matahari yang mulai terbit. Sebuah papan peringatan yang roboh terlihat, dan juga tanda-tanda yang menunjukkan bahwa aku sudah dekat dengan apa yang kutuju.
Ketika lintasan mulai melandai, dan padang pasir yang luas terhampar di hadapanku. Aku terus berjalan menuju tonggak triangulasi yang merupakan titik tertinggi Puncak Mahameru ( 3676 Mdpl ). Sejenak aku duduk tanpa tahu harus melakukan apa lagi, jam menunjukkan pukul 05.20. Sejenak menikmati sebagai orang yang berdiri paling tinggi di Pulau Jawa. Sempat mengambil beberapa gambar diri dengan bantuan tripod dan pengatur waktu kamera. Tidak lupa bersujud kepada sang pencipta yang masih memberikan perlindungan.
Melangkah turun perlahan sambil memikirkan setengah perjalanan akhir yang panjang dan meyakitkan dengan sisa-sisa tenaga yang telah terkuras. Setelah menginap semalam lagi di tengah perjalanan sebelum akhirnya benar-benar selamat keluar dari alam liar sampai kembali di peradaban, aku menghabiskan waktu lebih dari 48 jam tanpa bertemu dan berkomunikasi dengan orang lain, sejak berpisah dengan pemancing di Ranu Kumbolo.
Di Pos Ranupane aku sempat dimarahi salah seorang petugas karena kelancanganku, segera aku meminta maaf atas kesalahanku yang kusengaja. Aku tidak bermaksud meremehkan larangan Taman Nasional, tetapi apa yang kulakukan itu semata-mata untuk mencapai prestasi untuk diriku sendiri. Aku juga ingin meminta maaf secara terbuka kepada TNBTS khususnya dan Pecinta Alam Indonesia pada umumnya karena telah melanggar kode etik yang ada.
Melalui pendakian solo aku menemukan suatu jenis pendakian yang aku sukai, karena dalam pendakian seperti itu aku lebih merasakan kedekatan dengan Sang Pencipta, ketika mendaki sendiri tantangan yang dihadapi semakin berat, juga resiko yang mungkin kita dapatkan. Saat menghadapi kesulitan tidak ada yang dapat menolong kecuali Tuhan semata, Dialah satu-satunya yang menjadi pelindung dan penolong bagi para pendaki solo.
Friday, October 06, 2006
Pelajaran Berharga dari Perjalanan dan Petualangan

" Alam adalah sebuah ruang kelas yang tak kenal ampun, dan tak ada satu tempatpun di Bumi yang begitu tak kenal ampun seperti gunung-gunung tertinggi di planet ini ".
- Everest In Your Live; Gary Scott ( pemegang rekor pendakian tercepat di Mc Kinley )
Mendaki gunung sudah melekat dalam diriku lebih dari lima tahun, yang telah membawaku pergi ke berbagai tempat di Indonesia. Banyak hal telah kudapatkan dari aktivitas petualangan itu, meskipun yang kudapatkan itu bukanlah sesuatu hasil yang nyata. Melalui pendakian aku bisa menambah pengetahuan dan wawasan tentang berbagai daerah terpencil dari Kerinci di Sumatera sampai Tambora di Nusa Tenggara.
Selain pengalaman yang bersifat petualangan, aku juga mendapatkan pengalaman yang meskipun kecil tetapi berguna bagi orang lain. Seperti ketika menyelesaikan pendakian di Rinjani, aku mendapat ajakan dari organisasi Pencinta Alam di sana untuk melakukan kegiatan bakti sosial di sebuah daerah terpencil dan tertinggal selama beberapa hari. Aku juga terpanggil untuk ikut bergabung bersama Relawan dari berbagai kalangan untuk bersama-sama menyumbangkan sedikit tenaga di daerah bencana Gempa Bumi Jateng dan DIY. Demikan juga ketika pulang dari pendakian aku singgah ke GOVA (pecinta alam Fakultas Hukum UNS) yang sedang ada kegiatan donor darah, aku ikut menyumbangkan beberapa tetes darah yang mungkin bermanfaat bagi orang lain.
Memang bagi sebagian orang menyebut bahwa petualangan adalah kegiatan yang tidak ada manfaat, buang-buang waktu, tenaga dan biaya, bahkan mengundang bahaya bagi penggiatnya. Tapi dari perspektifku tidaklah demikian, tidak ada sesuatu yang lebih berarti dari apa yang telah aku lakukan seperti hal-hal tersebut.
Free Hit Counter








